type='html'>
|
Simbol Hak Cipta (Copyright) |
Suka download lagu bajakan di internet? Haha.. tenang, saya tidak bermaksud untuk menghakimi anda.
Memang terdengar klise, dan lagi jaman sekarang ada banyak teori pembelaan untuk aktivitas bajak membajak. Tapi tidak ada salahnya untuk lebih tahu soal hak cipta dan perlindungan karya intelektual.
Saat senggang, kalau anda tidak sengaja melihat tulisan ini, jangan buru-buru alergi dan kabur, heheheh. Semoga bahan bacaan ini bisa bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Ada dua musuh alami bagi hak para musisi, yaitu plagiarisme dan pembajakan. Sebelum membahas lebih jauh soal keduanya, mari terlebih dahulu kita mengetahui apa itu hak cipta.
Hak cipta pada umumnya digunakan untuk melindungi karya intelektual-- termasuk musik--. Dengan perlindungan hak cipta, tidak sembarang orang bisa memperbanyak dan menjual kembali sebuh karya.
Hanya pemilik hak cipta lah yang mempunyai otoritas untuk memperbanyak dan mengkomersilkan karya tersebut. Dengan aturan ini, pemusik bisa lebih serius berkarya karena karya mereka mendapatkan perlindungan dari hukum.
Pasal 1 ayat (1) UUHC menyebutkan bahwa, “Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (“UUHC”). Hal ini disebutkan dalam Pasal 12 ayat (1) huruf d UUHC. Setiap orang yang bukan pemegang hak cipta lagu atau tidak diberikan izin untuk itu tidak seharusnya melakukan pengumuman atau perbanyakan atas suatu lagu.
PlagiarismeIngat kasus Coldplay yang berseteru dengan Joe Satriani di pengadilan? Hal ini dipicu oleh tuduhan Satriani yang menganggap bahwa “Viva La Vida” Coldplay mencontek “If I Could Fly” milik gitaris tersebut.
Atau kasus Lil wayne yang baru-baru ini kalah di pengadilan, setelah mengajukan gugatan terhadap Quincy Jones Iii yang dianggap mencontek karya miliknya.
Ternyata kasus serupa juga marak terjadi di tanah air. Tahun 2008 siaran televisi sempat dihebohkan oleh berita tentang musisi India yang mencontek habis lagu milik Peterpan. Sebaliknya, tuduhan serupa pernah pula dialamatkan kepada band Potret yang dianggap menjiplak lagu Weezer.
Memang ada aturan tertentu yang membahas soal plagiarisme dalam musik. Misalnya jumlah bar yang sama, tingkat kemiripan aransemen, dan nada vokal. Tapi tampaknya aturan tersebut masih abu-abu (kecuali jika memang aransemen dan nada vokal memang terlalu mirip).
|
Example of Article Plagiarism Diagram. img source: Wikipedia/Carrot Lord |
Perbedaan antara mencontek dan terinspirasi sangat tipis, apalagi jaman sekarang, musik bisa didengarkan dimana saja, sehingga kemungkinan kita terngiang-ngiang suatu lagu tanpa sadar sangat besar.
Yah, bagaimanapun, kalau terlalu sibuk mengurusi urusan dapur orang lain juga tidak ada manfaatnya. Daripada rebut-ribut di media sosial perkara plagiarism, lebih baik anda menyibukkan diri membuat karya yang bagus, yang menurut anda memang paling orisinal.
Pembajakan
Sebelum era digital, penerapan hak cipta lebih mudah diterapkan. Siapapun yang melanggarnya bisa dijebloskan ke penjara atau dibebani denda yang sangat besar. Namun, konsep hak cipta ini agak sulit untuk diterapkan di era internet yang mengusung kebebasan.
Konten digital seperti apapun bisa lebih mudah didapat dan diperbanyak hanya melalui perangkat elektronik. Hak cipta seakan tidak punya pengaruh lagi di era internet karena file digital bisa diperbanyak dengan mudah.
Di era serba bebas, para pemusik juga cenderung melupakan hak cipta dari karya mereka. Kampanye anti pembajakan musik tidak akan berpengaruh karena internet memberikan akses yang terlalu luas untuk berbagi informasi atau file.
|
Online Digital Media Store |
Untuk penjualan musik secara digital (iTunes, dll) saat ini memang tidak terlalu menguntungkan. Ada 3 faktor yang mempengaruhinya. Yang pertama adalah akses internet yang minim dan lambat membuat orang malas untuk membeli.
Yang kedua adalah prosedur pembayaran album digital yang masih terlalu rumit untuk mayoritas konsumen. Faktor terakhir, jelas masalah mental bangsa kita yang masih terbelakang. Terbelakang? Yap begitu kenyataannya.
Bagaimana dengan Ringback Tone yang populer beberapa tahun belakangan? Bencana, konyol dan memuakkan. Tidak ada lagi definisi yang tepat selain 3 kata tersebut.
Lagu tidak bisa dinikmati secara utuh, membuat musisi dan pencipta lagu malas untuk membuat lagu yang berkualitas. Buat apa bikin lagu yang bagus kalau cuma didengarkan sekilas?
keputusan pemerintah untuk mengontrol penjualan konten premium seperti ini juga membuat penjualannya turun drastis sampai 95%.
|
Ringbacktone/NSP |
Oleh karena itu, sudah seharusnya musisi dan label memperhitungkan strategi baru untuk memasarkan musik. Jika konten gratis tidak bisa diberantas, maka jadikan itu sebagai senjata pemasaran.
Salah satu penyanyi Indonesia yang memiliki pendapat seperti ini adalah Melanie Subono. Menurutnya, pendistribusian musik secara bebas justru menguntungkan industri musik karena popularitas lagu tersebut meningkat tajam.
Bahkan, banyak penyanyi dari luar memberikan akses gratis ke penggemarnya untuk men-download musik karya mereka. Sebagian musisi juga membuat channel di YouTube dan SoundCloud untuk mempermudah penggemarnya dalam mengakses file.
Masih suka membajak? Silahkan saja.
Tapi jangan mengeluh jika musisi-musisi kita semakin malas membuat lagu berkualitas. Jangan salahkan stasiun TV yang semakin hiruk pikuk dengan musik tidak berkelas. Jika musisi tidak dihargai, buat apa mereka buat karya yang bagus?
Sekali lagi, tulisan ini hanya untuk bahan renungan anda di kala senggang. Tidak bermaksud menghakimi. Keputusan untuk lebih peduli terhadap hak cipta atau memilih untuk tetap membajak ada di tangan anda sendiri.
View the original article here